Website ini didesain oleh UKM2ONLINE.com, buat website kamu sekarang Mulai
Lansia masih Berguna (Galatia 5:22-25)
Menjadi orang yang berguna dan berbuah adalah tujuan hidup tiap orang. Oleh sebab itu, Kristus mengibaratkan kita sebagai pohon buah lalu menugaskan kita untuk berbuah. Sungguh membesarkan hati, Kristus bukan Cuma menugaskan melainkan juga mendampingi bahkan menyatu dengan kita dalam melaksanakan tugas itu. Ucap-Nya ,”Orang yang tetap bersatu dengan Aku dan Aku dengan dia, akan berbuah banyak…”(Yoh.15:5).
Apakah orang berusia lanjut masih bisa berbuah? Apakah orang berusia lanjut masih bisa berkarya dan berprestasi? Ya, tentu saja bisa! Akan tetapi, ada banyak tetapinya. Kita lihat contoh yang dekat. Mungkin dalam lingkungan kerabat atau tetangga ada nenek yang sudah terbungkuk bungkuk, namun masih melakukan pekerjaan rumah tangganya secara penuh waktu setiap hari. Ia berbuat itu bukan karena kurang mampu membayar tenaga pembantu, melainkan karena ia masih mau dan mampu. Dengan demikian, tiap hari ia masih berprestasi.
Contoh yang jauh. Kitab Mazmur 92:13-16, sangat bisa jadi ditulis oleh sejumlah sastrawan yang sudah lanjut usia. Musik klasik yang kita nikmati kebanyakan digubah oleh komponis-komponis yang sudah agak rabun. Pengabdian Gandhi, Theresa, dan Mandela, justru mencapai mutu puncaknya ketika mereka berusia sekitar 80 tahun. Martha Graham masih mencipta, menggugah, dan mengajar tari sampai usia 96 tahun. Sri Paus biasanya dipilih dari antara calon-calon yang berusia di atas 80 tahun. Nah, siapa bilang orang lanjut usia kerjanya hanya istirahat dan berleha-leha?
Apakah itu berarti bahwa pada usia lanjut kita pun harus terus bergiat seperti sekian puluh tahun yang lalu? Apakah seorang pilot berusia 70 tahun masih harus menerbangkan pesawat? Tentu tidak. Sejumlah factor jadi bahan pertimbangan. Ada jenis tugas yang cocok untuk golongan usia ini, ada pula yang lebih cocok untuk golongan usia lain, aa pula yang lebih cocok untuk golongan usia lain. Tiap golongan usia mempunyai ke unggulan dan kelemahan. Sering dengan bertambahnya usia menjelang usia lanjut, pada tiap orang bisa terjadi penurun kemampuan fisik dan mental. Kadar penurunan ini berbeda dari satu individu ke individu lain.
Sebaliknya, jika kita mengecil-ngecilkan penurunan itu, kita menutup mata terhadap kenyataan. Kita berpura-pura kepada diri sendiri bahwa kita masih sekuat dan semampu dulu. Masa dengan sendi lutut yang sering nyeri pada usia 90 tahun kita masih mau naik Gunung Merapi?
Kita bukan menyerah, namun juga bukan melawan terhadap penurunan kemampuan fisik dan mental, melainkan memahami duduk perkaranya dan berupaya mempertahankan kemampuan itu. Pemahaman ini dijelaskan di buku Memahami Krisis Lanjut Usia-Uraian Medis dan Pedagogis-Pastoral tulisan Hanna Santoso, dokter yang sejak awal kariernya berkiprah di antara para warga usia lanjut.
Faktor pertimbangan lain adalah tentang sasaran. Sampai putrinya berumah tangga dan tinggal di rumah lain, Ibu Rosinta masih terus suka mengatur putrinya itu. Ketika putrinya mempunyai anak, sudah bisa ditebak, Ibu Rosinta itulah yang paling sibuk. Akan tetapi kemudian sang cucu memasuki usia remaja, ia tidak mau diatur lagi. Akibatnya, ibu Rosinta merasa diri tidak berkarya dan tidak berguna lagi. Akibatnya, Ibu Rosinta merasa diri tidak berkarya dan tidak berguna lagi. Beberapa bulan ibu Rosinta frustrasi berat.
Untuk kasus seperti ibu Rosinta itu, Pendidikan Agama Kristen (PAK) Dewasa dan PAK lanjut Usia mengenal pendekatan eklektik. Dengan pendekatan itu, ibu Rosinta ditolong untuk memilih sasaran lain. Sasaran itu mungkin sangat berbeda, namun di situ pun potensi dirinya bisa tersalur dan aktualisasi dirinya bisa terpenuhi lagi. Misalnya, kesukaan ibu Rosinta untuk mengatur anak tersalur jika ia ditawarkan menjadi pegiat panti asuhan, sekolah, atau komisi Sekolah Minggu. Pendekatan eklektik dalam PAK dewasa dan PAK lanjut Usia dikembangkan dari pedagogi eklektikisme, yaitu paham yang mendorong naradidik cerdas memilih dan mengambil hal-hal yang baik dan berbagai keyakinan yang berbeda.
Kedua factor pertimbangan tadi menolong kita bukan hanya bersikap realistis, melainkan juga bersikap kritis terhadap beberapa kemungkinan karya dan kinerja kita. Mungkin kemampuan kita sudah berubah dan mungkin pula kesempatan sudah berganti. Akan tetapi, itu sama sekali bukan berarti bahwa kita tidak berbuah lagi. Kita masih berbuah, asalkan kita berganti kemampuan dan berganti kesempatan. Dulu kita kuat badan, sekarang mungkin kita kuat budi. Badan melemah, diharapkan iman menguat. Dulu memakai kekuasaan sekarang memakai kebijakan.
Persejajaran antithesis itu juga dipakai oleh rasul Paulus, meskipun untuk konteks yang berbeda. Tulisnya,”…manusia lahiriah kami semakain merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari”(2Kor.4:16)
Oleh sebab itu, walaupun dalam bidang yang berbeda dan cara yang berbeda, orang berusia lanjut pun masih bisa berkarya dan berprestasi. Mutu karya dan prestasi itu belum tentu lebih rendah, bahkan bisa jadi malah lebih tinggi mutunya. Pemazmur mengambil contoh tentang pohon kurma, karena pohon itu sudah tua. Tulisnya,”Orang benar akan bertunas seperti pohon korma…Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk (dalam arti:berisi air, bernas) dan segar, untuk memberitahukan bahwa Tuhan itu benar…”(Mzm 92:13-16).
Perhatikan bahwa berbuah sampai tua itu ada tujuannya. Tujuannya adalah”untuk memberitakan bahwa Tuhan itu benar”(ay.16) Berbuah sampai tua dimaksudkan agar kita bersaksi dengan kata dan perbuatan kepada generasi muda bahwa Tuhan itu baik dan benar.
Karya dan kinerja kita tentu berbeda ketika usia makin berlanjut. Akan tetapi, kita tetap berbuah. Tanpa kecuali, usia tiap orang terus berlanjut. Kemampuan menurun. Itu memang hal yang merugikan, namun juga menguntungkan. Coba pikirkan saja mana yang lebih baik, umur berlanjut ataukah umur tidak berlanjut alias berhenti setengah jalan? Mana lebih baik, ada umur ataukah tidak ada umur?
Apa masa pensiun itu menakutkan? Pekan-pekan pertama diam di rumah terasa sebagai liburan. Tetapi setelah itu kita mulai merasa bingung. Apa yang harus kukerjakan? Kita merasa kehilangan peran. Kalau aku sudah tidak punya peran lagi, apa gunanya aku masih hidup? Perasaan hampa itu terutama karena kita cenderung mengidentikkan diri dengan peran tertentu: saya seorang menjer bank, atau saya seorang ibu rumah tangga dan sebagainya. Peran itu menjadi jati diri kita yang utama. Akibatnya ketika peran itu harus dilepaskan, kita pula kehilangan jati diri. Lalu kita frustrasi dan kehilangan gairah hidup. Akibat yang juga dapat timbul adalah post power syndrome.Gejala ini terutama disebabkan bila kita mengidentikkan peran dengan kekuasaan. Gejala post power syndrome pada ibu itu bisa jadi berbentuk ikut campur urusan pada rumah tangga anaknya. Kalau mantan pejabat ingin berusaha mengendalikan penggantinya, atau menjelekjelekkan kebijaksanaan penggantinya. Maka kita perlu mempersiapkan diri memasuki masa tua dengan berbuah. (2 Kor.4:16) Pada masa tua menjadi generative bukan stagnasi. Stagnasi menurut Psikolog Erik Erikson, artinya mandek perasaan bahwa hidup tidak mempunyai arti lagi. Sehingga dia terpikat kepada kepentingannya sendiri. Orang pada masa tua masih berbuah ialah generative mewariskan nilai-nilai hidup sebagai mana digambarkan Paulus di dalam Galatia 5:22-26: Kasih;sukacita;damai sejahtera;kesabaran; kemurahan; kebaikan; kesetiaan; kelemahlembutan, penguasaan diri. Menurut teori Robert Peck, persiapan ini perlu melewati krisis”Cathectic flexibility versus cathectik impoverishment”.Secara sederhana itu berarti bahwa kita perlu mau banting stir dari perhatian yang selama ini tertuju pada hal-hal fisik, kebendaan, karir dan kekuasaan lalu berganti menjadi perhatian pada hal-hal spiritual yang menjadikan kita menemukan kegembiraan pada perbuatan mengabdi kepada Tuhan dan melayani orang lain.
Hidup sampai menjadi tua adalah berkat Tuhan yang berharga asal saja kita memandang hidup secara positif. Pohon pinus yang tua justru memberi pengayoman dan perlidungan yang lebih teduh. Awet tua sungguh berguna, seperti kata peribahasa, “Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi.”Menjadi apa? Tentunya, menjadi berbuah, bukan menjadi cerewet dan tukang ngomel.”Semoga usia berlanjut sampai tua!” Tentu dalam arti,”Semoga usia yang berlanjut itu masih berbuah!”
Taman Mini, 29 Mei 2023
Pdt.Luhut P. Hutajulu.
Leave A Comment