hkbpkebayoran - Gereja menjadi berkat

HARI RAYA KEAGAMAAN MEMBANGUN "KEBERSAMAAAN"


Admin 465 x dilihat Apr 16, 2023

Di antara CINTA dan BENCI ?

Hari-hari raya keagamaan mengandung makna kegembiraan rohani yang besar dan mendalam. Oleh sebab itu wajar, bahwa di dalam merayakannya, unsur kegembiraan itu perlu diungkapkan. Bagaimana cara dan bentuk ungkapan kegembiraan itulah yang agaknya perlu dipertimbangkan dengan baik, sehingga  tidak justru bertentangan dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah agama. Oleh sebab itu, demi untuk memurnikan dan memelihara makna sesungguhnya, kesadaran dan semangat persahabatan hendaknya selalu dijadikan landasan dan acuan pemikiran di dalam memperingati dan merayakan hari-hari raya keagamaam. Sebab kalau tidak pelaksanaan peringatan dan perayaan tersebut dapat berubah menjadi semacam ‘pameran kesenjangan’, yang selain dapat menimbulkan berbagai kecemburuan sosial, juga menambah rasa kepedihan mereka yang tidak mampu berbuat seperti itu. Alangkah mulianya bila biaya tinggi yang harus dikeluarkan dalam rangka merayakan hari-hari raya keagamaan itu dapat digunakan untuk membantu mereka yang berkekurangan, sebagai sarana membagi-bagi kegembiraan, dalam rangka mewujudkan kepedulian dan kesetiakawanan sosial dan persahabatan yang ikhlas. Tidak dapat disangkal, bahwa demi untuk menjalankan hal-hal yang dianggap merupakan ketentuan-ketentuan agama, orang tidak segan-segan mengeluarkan biaya yang tinggi. Dalam hal ini perhitungan untung-rugi secara rasional ekonomis tidak bisa dipergunakan dan diperdebatkan. Yang masih dapat dan perlu kita perhatikan dan pertimbangkan ialah, seberapa jauh perbuatan tersebut benar-benar mencapai dan sesuai dengan makna dari ketentuan agama yang ingin diwujudkan itu. Dalam hal inilah kita perlu bernalar secara kritis. Selain itu, setiap ketentuan harus pula dimengerti dalam kaitannya dengan ketentuan-ketentuan yang lain. Jadi misalnya, ketentuan untuk mengungkapkan kegembiraan dan pengucapan rasa syukur harus mengingat pula ketentuan akan perlunya mewujudkan keadilan, cinta ksih kepada sesama yang menderita, dan sebagainya.Godaan “iri hati” sering muncul melihat orang lain melaksanakan ibadahnya dan inilah yang sering merusak kebersamaan kita.(Yak.3:16)

Saat ini umat Islam mulai menjalani ibadah Ramadhan dan dengan itu sebulan berlatih mengendalikan diri dari melakukan hal-hal yang tidak baik. Bulan Ramadhan adalah bulan yang dinanti setiap umat Islam. Bulan ini datang setiap tahun, setiap kali pula kita mencoba menemukan relevansi antara makna sesungguhnya ibadah ini dan situasi kekinian kita. Muslim memahami bahwa puasa bukan sekedar menjaga nafsu yang bersifat fisik. Lebih jauh lagi, berpuasa menuntut kita menjaga diri dari melakukan  hal-hal tidak baik yang dapat dilakukan panca indra dan bagian tubuh lain. Dengan harapan latihan selama sebulan ini akan membentuk perilaku yang terpuji untuk seterusnya. Berpuasa menahan segala lapar dan haus juga mengajak kita membangun kebersamaan, solidaritas terhadap mereka yang kurang beruntung.

Dalam perjalanan sejarahnya, ajaran agama dan tradisi lokal saling berbaur dan tidak bisa dipisahkan meskipun secara teoritis bisa dibedakan. Agama besar selalu melahirkan tradisi besar, sementara tradisi budaya yang sudah mapan tidak mudah berubah dan digeser oleh agama. Meski pada mulanya agama diyakini datang dari langit, ketika berkembang di bumi agama mesti menggunakan kendaraan, sarana, dan symbol budaya yang  tumbuh di bumi manusia. Maka agama dan budaya pada urutannya menyatu dan kemudian melahirkan tradisi baru yang merupakan campuran antara tradisi lokal dan agama. Orang meyakini, pada mulanya Firman suci itu datang dari Tuhan, namun apa yang disebut firman Tuhan kemudian terekspresikan melalui wadah bahasa dan panggung kulturalnya. Sehingga tradisi agama ini pun telah menjadi bagian dari sebuah identitas bangsa dan menjadi festival kenegaraan serta menarik para turis. Berbagai kritik bermunculan  terhadap  tradisi keagamaan yang dianggap konsumtif. Bisa kita melihat komesialisasi Hari Raya Keagamaan.  Hari-hari raya keagamaan telah dijadikan arena dan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan bisnis sebesar-besarnya, hal itu tampaknya memang  sudah begitu “membudaya” di dalam masyarakat. Kita ingat hari raya keagamaan telah begitu dikomersialisasikan sampai-samapai berbagai hiburanpun membuat acara-acara khusus dengan klaim menyambut  dan merayakan hari peringatan keagamaan tersebut. Dengan demikian, makna sesungguhnya dari hari raya keagamaan menjadi kabur, kalau tidak dapat kita katakan rusak sama sekali. Dalam bukunya yang berjudul “Living in the Presence of the Future” (Intervarsity Press, 2001), Roy McCoughry mengungkapkan bahwa”demokorasi berkaitan dengan komitmen, bukan komitmen terhadap suatu ideology, tapi terhadap sesama yang lain, bukan komitmen atas kebijakan, tapi komitmen merawat kehidupan dalam komunitas.” Jadi kualitas demokrasi sebuah negara bukan hanya ditentukan semata-mata oleh konstitusinya, tetapi oleh bagaimana demokrasi itu ditunjukkan dalam kehidupan nyata. Penghargaan aspek kemajemukan dan kesetaraan itu diungkapkan dalam satu kata yaitu kebersamaan. Yang membangun sebuah Negara demokrasi secara hukum adalah UUD 45 dan Pancasila, tetapi yang membangun demokrasi adalah persahabatan dan relasi dengan tetangga secara nyata, dan ini nampak di dalam setiap perayaan hari raya keagamaan, menjadi kesempatan meningkatkan kebersamaan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Kemajemukan bisa terjadi karena perbedaan ras, suku, etnis, agama, derah, dan berbagai macam hal lainnya. Tuhan menciptakan segala sesuatu dalam kemajemukan. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berbeda-beda.Namun tidak membeda-bedakan. Semua orang sama-sama dikasihi-Nya. Keindahan pelangi justru keluar karena keberagaman warnanya. Sementara itu sebagai ciptaan Tuhan, manusia diciptakan di dalam kesetaraan , yaitu kesetaraan status. Status manusia ini setara atau sama kedudukannya di mata Tuhan karena semua manusia sama-sama berharga di mata-Nya. Maka kemajemukan yang ada di dalam kehidupan kita adalah “kemajemukan yang setara.”(Mat. 22:37-39)

                Fungsi agama  dalam meningkatkan moral bangsa. Fungsi integritas, kata agama atau religi, berasal dari akar kata religere,yang mengikat. Berarti agama adalah pengikat, pemersatu para penganutnya dalam perasaan, loyalitas tarhadap ajaran, nabi, upacara ritual hari raya keagamaan dan segala sesuatu yang menyangkut agama tersebut. Fungsi pemberi arah tujuan pada kehidupan manusia. Manusia sebagai mahluk ciptaan Allah memerlukan suatu tujuan yang bermakna bagi dirinya maupun bagi kelompok di mana ia berada. Dalam hal ini agama menunjukkan arah bermakna, dan transendeltal sifatnya. Fungsi moral. Berhubungan dengan fungsi pemberi arah, fungsi agama adalah menumbuhkan motivasi, mendorong manusia sebagai mahluk bermoral: hidup, berpikir dan bertindak sesuai dengan tuntutan moral agamanya. Fungsi pemberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan akhir yang tak terjawab oleh menusia sendiri. Seperti misalnya: bakal selamatkah aku ini?; Apakah dosaku akan diampuni?; Setelah kematian, kemanakah aku pergi?: Benarkah Allah itu ada? Bagi pertanyaan-pertanyaan serupa ini agamalah yang bertugas untuk menjawabnya. Jadi agama sudah seharusnya berperan positif terhadap masyarakat di mana ia berada. Agama merupakan faktor integrasi, meningkatkan moral, menumbuhkan motivasi, cita-cita luhur, dan memberi tujuan yang bersifat  transcendental. Jadi hari raya keagamaan memberi kontribusi peradaban bangsa yang bersahabat dan saling menolong.Mungkin kita bukan sedarah, namun kita bisa dekat dan berkerabat. Kalau cakap mengelola hubungan secara bijak, kita dapat menikmati kebersamaan hidup. Mengubah “benci” menjadi benar-benar cinta dengan menghormati sesama melaksanakan hari raya –ibadah keagamaan. Hari Raya Keagamaan akan menumbuhkan mukjizat kebersamaan. Mau mengalami mukjizat?Bertemanlah! Jauhkan”benci” melihat saudara kita melaksanakan “perayaan keagamaannya’, tetapi mari kita ikut mensyukuri kepada Allah bahwa makhluk ciptaan-Nya mau bersujud kepada Tuhan (Mzm 19:10-11).Hidup yang semula bak neraka bisa berubah menjadi surga. Benci bisa menjadi “benar-benar cinta”.Hubungan menentukan. Senang atau sengsara bergantung pada cara kita menciptakan dan memelihara kebersamaan.(Yoh.15:14)

SELAMAT MERAYAKAN HARI RAYA KEAGAMAAN!

Jakarta,Taman Mini 16 April 2023

Pdt.Luhut P. Hutajulu   

Leave A Comment

hubungi kami